Slider

Gambar tema oleh kelvinjay. Diberdayakan oleh Blogger.

Recent Tube

Sejarah Syiah

Kajian Utama

Syiah Indonesia

Syiah Internasional

Tabayun

Galeri

» » Syiah Indonesia - Sejarah Syiah yang Sebenarnya (Bag. 4)

Sejarah Syiah yang Sebenarnya (Bag. 1), bisa Anda klik di link ini : http://goo.gl/OLoI9p
Sejarah Syiah yang Sebenarnya (Bag. 2), bisa Anda klik di link ini : http://goo.gl/y2tZ5Q
Sejarah Syiah yang Sebenarnya (Bag. 3), bisa Anda klik di link ini : http://goo.gl/mvySN7
________________________________________________________

Tanpa mengingkari keutamaan mereka di berbagai hal, mungkin sebagian orang belum tahu ada atau tidak nas dari Nabi Muhammad Saw atau sahabat beliau yang menerangkan pembatasan tersebut. Mungkin pula sebagian orang tidak mengetahui pernyataan yang dilansir dari imam-imam itu sendiri mengenai larangan untuk mengikuti mereka. Ibnu Hazm adz-Dzahiri (384-456 H) mengatakan:

هُمْ يُقِرُّوْنَ أَنَّ الْفُقَهَاءَ الَّذِيْنَ قُلِّدُوْا مُبْطِلُوْنَ لِلتَّقلِيْدِ، وَ أَنَّهُمْ قَدْ نَهَوْا  أَصْحَابَهُمْ عَنْ تَقْلِيْدِهِمْ، وَ کَانَ أَشَدُّهُمْ عَلَی ذَلِکَ الشَّافِعِيُّ، فَإِنَّهُ رَحِمَهُ اللهُ بَلَّغَ مِنَ التَّأکِيْدِ فِيْ اتِّبَاعِ صِحَاحِ الآثَارِ، وَ الأَخْذِ بِمَا أَوْجَبَتْهُ الْحُجَّةُ –حَيْثُ لَمْ يُبَلِّغْ غَيْرُهُ، وَ تَبَرَّأَ مَنْ يُقَلِّدُ جُمْلَةً وَ أَعْلَنَ بِذَلِکَ.

"Mereka mengakui bahwa fukaha yang ditaklidi membatalkan (baca: tidak membenarkan) taklid tersebut. Mereka melarang sahabat-sahabatnya untuk bertaklid pada dirinya. Dan yang paling keras melarang taklid adalah Syafii. Penekanan keras yang disampaikan Syafii ra untuk mengikuti hadis sahih dan menerima konsekuensi hujjah (bukti) tidak disampaikan sekeras itu oleh imam-imam yang lain. Dia berlepas diri dari semua orang yang bertaklid kepadanya dan menyatakan hal tersebut." (Imam al-Jalil Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm adz-Dzahiri, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, tanpa tahun, jld. 2, juz 6, bab 36, hal. 280-281).

Abu Hatim Razi (w. 327 H) meriwayatkan bahwa Imam Syafii mengatakan:

«کُلُّ مَا قُلْتُ -وَ کَانَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّی اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ خِلَافُ قَوْلِيْ مِمَّا يَصِحُّ- فَحَدِيْثُ النَّبِيِّ صَلَّی اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَوْلَی؛ وَ لَا تُقَلِّدُوْنِيْ.»

"Apa pun yang telah kukatakan -- sementara ada hadis sahih dari Nabi Saw yang bertentangan dengan perkataanku itu --, maka hadis Nabi Saw lebih utama -- untuk diikuti --; dan jangan kalian bertaklid kepadaku (baca: mengikutiku)." (Imam al-Jalil Abu Muhammad Abdurrahman bin Abi Hatim ar-Razi, Âdâb al-Syâfiʻiy wa Manâqibuhu, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, cetakan pertama, 1424 H/ 2003 M, hal. 51).

Diriwayatkan pula dari Imam Syafii mengatakan:

«کُلُّ مَا قُلتُ لَکُمْ -فَلَمْ تَشْهَدْ عَلَيْهِ عُقُوْلُکُمْ وَ تَقْبَلْهُ، وَ تَرَهُ حَقًّا- فَلَا تَقْبَلُوْهُ، فَإِنَّ العَقْلَ مُضْطَرٌّ إِلَی قَبُوْلِ الْحَقِّ».

"Apa pun yang telah kukatakan -- sementara akal kalian tidak bersaksi demikian, dan menurutnya kesaksian itu benar --, maka jangan kalian menerima pendapatku itu, sesungguhnya akal mau tidak mau pasti menerima kebenaran." (Ibid, hal. 68).

Ma'n bin Isa al-Qazzaz meriwayatkan bahwa Malik bin Anas mengatakan:

سَمِعْتُ مَالِکَ بْنَ أَنَسٍ يَقُوْلُ: أَنا بَشَرٌ أُخْطِئُ وَ أُصِيْبُ، فَانْظُرُوْا فِيْ رَأيِيْ، فَکُلُّ مَا وَافَقَ الْکِتَابَ وَ السُّنَّةَ فَخُذُوْا بِهِ، وَ مَا لَمْ يُوَافِقِ الْکِتَابَ وَ السُّنَّةَ فَاتْرُکُوْهُ.

"Aku manusia, kadang salah dan kadang benar. Karena itu, perhatikanlah pendapatku, apa saja -- dari pendapatku -- yang sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunnah maka ambillah, dan apa saja -- dari pendapatku -- yang tidak sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunnah maka tinggalkanlah." (Ibnu Hazm, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, ibid., bab 35, hal. 229).

Imam Ath-Thahawi meriwayatkan bahwa Abu Hanifah mengatakan:

عِلْمُنَا هَذَا رَأيٌ فَمَنْ أَتَانَا بِخَيْرٍ مِنْهُ قَبِلْنَاهُ

"Ilmu kami ini sebuah pendapat. Karena itu, barangsiapa membawakan pendapat yang lebih baik daripada itu kepada kami, maka kami akan menerimanya." (Ibid, bab 35, hal. 231).

Salamah bin Syaib meriwayatkan bahwa Ahmad bin Hanbal berkata:

رَأْيُ الْأَوْزَاعِيِّ، وَ رَأَيُ مَالِکٍ، وَ رَأْيُ سُفْيَانَ کُلُّهُ رَأْيٌ، وَ هُوَ عِنْدِيْ سَوَاءٌ، وَ إِنَّمَا الْحُجَّةُ فِيْ الْأَثَرِ.

"Pendapat Auza'i, pendapat Malik, dan pendapat Sufyan, semuanya adalah pendapat. Dan bagiku, itu semua sama. Sedangkan hujjah (baca: bukti yang boleh diikuti) hanya terdapat di dalam hadis." (Imam al-Hafidz Abu Umar Yusuf bin Abdillah bin Muhammad Ibnu Abdilbar al-Qurthubi al-Maliki (w. 463 H), Jâmiʻ Bayân al-ʻIlm wa Fadhlih, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, cetakan kedua, 1428 H/ 2007 M, hal.hal. 431).

Berdasarkan pernyataan empat imam itu dan bukti lainnya, Ibnu Hazm berpendapat:

وَليَعْلَمْ مَنْ قَرَأَ کِتَابَنَا أَنَّ هَذِهِ الْبِدْعَةَ الْعَظِيْمَةَ –نَعْنِيْ التَّقْلِيْدَ- إِنَّمَا حَدَثَتْ فِيْ النَّاسِ وَ ابْتُدِئَ بِهَا بَعْدَ الأَرْبَعِيْنَ وَ مِائَةَ مِنْ تَارِيْخِ الهِجْرَةِ، وَ بَعْدَ أَزْيَدَ مِنْ مِائَةَ عَامٍ وَ ثَلَاثِيْنَ عَامًا بَعْدَ وَفَاةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّی اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَ إِنَّهُ لَمْ يَکُنْ قَطُّ فِيْ الْإِسْلَامِ قَبْلَ الْوَقْتِ الَّذِيْ ذَکَرْنَا مُسْلِمٌ وَاحِدٌ فَصَاعِدًا عَلَی هَذِهِ الْبِدْعَةِ.

"Seyogianya orang yang membaca buku kami menyadari bahwa bid'ah agung ini -- maksud kami: taklid -- baru muncul di tengah masyarakat dan bermula seratus empat puluh (140) tahun pasca hijrah, dan lebih dari dari seratus tiga puluh (130) tahun pasca wafat Rasulullah Saw. Di dalam -- sejarah -- Islam, sebelum waktu yang telah kami sebutkan tadi, tidak ada satu orang muslim pun yang mengamalkan bid'ah ini." (Ibnu Hazm, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, ibid., bab 36, hal. 303).

Menurut Ibnu Hazm, seandainya boleh bertaklid, itu pun kepada orang mati, kenapa tidak langsung bertaklid kepada sahabat Nabi Muhammad Saw yang lebih alim dan lebih utama. Dia berkata:

مَا الَّذِيْ حَمَلَکُمْ عَلَی التَّمَاوُتِ عَلَی قَوْلِ أَبِيْ حَنِيْفَةَ وَ أَبِيْ يُوْسُفَ وَ مُحَمَّدِ بْنِ الْحَسَنِ؟ فَهَلَّا طَلَبْتُمْ أَقْوَالَ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ وَ عَلِيٍّ فَتَمَاوَتُّمْ عَلَيْهَا؟ فَهُمَا أَفْضَلُ وَ أَعْلَمُ مِنْ أَبِيْ حَنِيْفَةَ وَ أَبِيْ يُوْسُفَ وَ مُحَمَّدِ بْنِ الْحَسَنِ عِنْدَ اللهِ تَعَالَی بِلَا شَکٍّ.

"Apa yang membuat kalian mati-matian mengikuti perkataan Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan? Kenapa kalian tidak mencari perkataan Abdullah bin Mas'ud dan Ali lalu mati-matian mengikutinya? Karena, tidak diragukan bahwa di sisi Allah Swt, mereka berdua lebih utama dan lebih alim daripada Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad bin Hasan." (Ibnu Hazm, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, ibid., bab 36, hal. 291-292).

Sekiranya penjelasan mengenai pembatasan mazhab menurut Ahlus Sunnah itu telah dicapai oleh para penganutnya -- sebagai contoh, mereka menemukan nas untuk itu atau yakin bahwa para imam mazhab di atas adalah orang yang paling alim dan paling utama sepanjang masa --, mereka juga perlu menyadari adanya perbedaan pendapat di antara imam-imam tersebut, dan itu tampak jelas dalam karya-karya mereka. Imam Zamakhsyari (w. 528 H) menggambarkan sekilas perbedaan pendapat itu dalam puisinya:

إِذَا سَأَلُوْا عَنْ مَذْهَبِيْ لَمْ أُبِحْ بِهِ          وَ أَکتُمُهُ کِتْمَانُهُ لِيْ أَسْلَمُ
فَإِنْ حَنَفِيًّا قُلْتُ قَالُوْا بِأنَّنِيْ                أُبِيْحُ الطَّلَا وَ هُوَ الشَّرَابُ المُحَرَّمُ
وَ إِنْ مَالِکِيًّا قُلْتُ قَالُوْا بِأَنَّنِيْ             أُبِيْحُ لَهُمُ الْکِلَابَ وَ هُمْ هُمُ
وَ إِنْ شَافِعِيًّا قُلْتُ قَالُوْا بِأَنَّنِيْ             أُبِيْحُ نِکَاحَ البِنْتِ وَ الْبِنْتُ تَحْرُمُ
وَ إِنْ حَنْبَلِيًّا قُلْتُ قَالُوْا بِأَنَّنِيْ              ثَقِيْلٌ حُلُوْلِيٌّ بَغِيْضٌ مُجَسِّمُ
وَ إِنْ قُلْتُ مِنْ أَهْلِ الْحَدِيْثِ وَ حِزْبِهِ     يَقُوْلُوْنَ تِيْسٌ لَيْسَ يَدْرِيْ وَ يَفْهَمُ
تَعَجَّبْتُ مِنْ هَذَا الزَّمَانِ وَ أَهْلِهِ           فَمَا أَحَدٌ مِنْ أَلْسُنِ النَّاسِ يَسْلَمُ

"Apabila mereka menanyakan mazhabku, maka aku tidak mengungkapkannya. Aku menyembunyikannya, karena penyembunyian itu lebih selamat bagiku.

Jika kukatakan Hanafi, mereka akan mengatakan bahwa aku membolehkan tholâ, yaitu minuman yang haram (bir).

Jika kukatakan Maliki, mereka akan mengatakan bahwa aku membolehkan mereka -- untuk makan -- anjing, sementara mereka adalah mereka.

Jika kukatakan Syafii, mereka akan mengatakan bahwa aku membolehkan pernikahan seseorang dengan anak perempuannya sendiri, padahal anak perempuan itu mahram (haram dinikahi).

Jika kukatakan Hanbali, mereka akan mengatakan bahwa aku berat, hulûlî (percaya inkarnasi), penmbenci, dan mujassim (percaya Tuhan bertubuh).

Jika kukatakan termasuk Ahli Hadis dan kelompok mereka, mereka akan mengatakan "Dungu"; tidak tahu dan tidak mengerti apa-apa.

Aku heran dengan zaman ini dan ahlinya, tidak ada satu pun dari lidah masyarakat yang selamat." 

(Imam Mahmud bin Umar al-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf ʻan Haqôiq Ghowâmidh al-Tanzîl wa ʻUyûn al-Aqôwîl fî Wujûh al-Ta'wîl, Beirut: Darul Kitab al-Arabi, 1429 H/ 2008 M, jld. 1, juz 1, hal. 9-10).

Terlepas dari teliti-tidaknya rincian pendapat yang disinggung Zamakhsyari di atas, yang pasti perbedaan pendapat di antara imam-imam itu ada.

Bersambung...

«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar:

Leave a Reply